Entri Populer

Minggu, 11 Maret 2012

Tulisan Individu-Perekonomian Indonesia#


Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok Dan Kemiskinan

Beberapa saat terakhir ini, awal tahun 2008, kita terus menyaksikan harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Minyak goreng mencapai harga diatas puluhan ribu rupiah di pasaran. Meskipun sempat mengalami penurunan, akan tetapi kembali melambung tinggi pada akhir bulan Februari ini.
Selain minyak goreng beberapa bahan kebutuhan pokok juga mengalami kenaikan, padahal bahan-bahan tersebut merupakan konsumsi kebanyakan masyarakat. Misalnya harga kedelai yang menyebabkan langka dan mahalnya harga tahu dan tempe, harga tepung dan lain sebagainya. Kenaikan harga beberapa barang kebutuhan pokok tersebut menjadi lengkap membebani masyarakat kecil ketika pada saat yang sama minyak tanah juga mahal dan sulit didapat. Sementara program konversi minyak tanah ke gas elpiji yang menjadi program pemerintah belum sepenuhnya berjalan, belum lagi beberapa persoalan yang ditimbulkan dalam pelaksaaannya di lapangan.
Melambungnya harga kebutuhan pokok menyebabkan masyarakat dihadapkan pada persoalan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apalagi pendapatan tidak mampu mengimbangi kebutuhan yang harus di penuhi. Beberapa industri kecil skala rumah tangga juga terpaksa gulung tikar dan tutup. Bagaimana tidak, beberapa industri rumah tangga seperti industri tahu dan tempe, industri kerupuk hingga penjual gorengan, untuk mendapatkan bahan bakunya saja mereka sudah kehabisan modal, belum lagi untuk membeli minyak tanah dan minyak goreng yang harganya tak terjangkau. Beberapa industri yang masih berjalanpun terpaksa mengurangi jumlah produksinya meskipun mereka harus merugi karena tidak bisa menaikkan harga jual. Dalih karena hal itu sudah menjadi pekerjaanlah yang membuat mereka tetap bertahan untuk melakukan pekerjaan itu, selain memang tidak ada pilihan usaha dan pekerjaan lain yang akan dilakukan.
Akan tetapi, beberapa orang ada pula yang beralih pada profesi baru, yang semula berdagang gorengan akhirnya memilih menjadi tukang becak, berdagang buah- buahan, buruh bangunan dan lain sebagainya. Meskipun hal itu bukanlah solusi yang dapat menghindarkan mereka dari ketidakmampuan menjangkau mahalnya harga kebutuhan mereka, karena tetap saja mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari akibat hasil yang diperoleh dari pekerjaan baru tersebut tetap saja tidak cukup untuk membeli satu liter minyak goreng.

Kemiskinan Absolut
Dampak yang diakibatkan dari kenaikan harga ini sangat luar biasa bagi rakyat miskin, jumlah warga miskin akan bertambah banyak jumlahnya karena semakin banyaknya warga banyak yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Disamping berakibat pada kesulitan dan kesengsaraan untuk memenuhi kebutuhan, juga berakibat pada ketidakmampuan untuk mencapai kualitas hidup dan kesejahteraannya yaitu pemenuhan gizi, kesehatan dan pendidikanya. Bagaimana mungkin mereka mampu memenuhi gizi jika mereka hanya mampu makan sehari sekali tanpa lauk yang memadai. Jangankan telur atau daging, tahu tempe saja tak mampu dibeli lagi olehnya. Bagaimanapula mereka akan membiayai kesehatan hidup dan pendidikan anak-anaknya jika untuk membeli beras saja mereka tidak mampu. Situasi ini mengakibatkan masyarakat miskin terhimpit dalam situasi kemiskinan yang absolut.
Kemiskinan absolut merupakan kriteria yang disebut apabila terjadi suatu kondisi ketika tingkat pendapatan seseorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan disebut kemiskinan relatif adalah perhitungan kemiskinan berdasarkan proporsi distribusi pendapatan dalam suatu daerah. Dikatakan relatif karena lebih berkaitan dengan distribusi pendapatan antar lapisan sosial masyarakat.
Terdapat beberapa pedoman yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan absolut, diantaranya yang berdasarkan pada tingkat pendapatan per waktu kerja, tingkat kebutuhan relatif per keluarga, dan batas minimal jumlah kalori yang dikonsumsi per orang yang diambil persamaannya dalam beras. Tingkat pendapatan yang biasa dipakai di Indonesia adalah pendapatan per bulan. BPS membuat kriteria orang miskin adalah orang yang pendapatannya dalam satu bulan kurang dari Rp 96.956 untuk daerah perkotaan dan Rp 72.780 untuk daerah pedesaan.
Sementara kebutuhan relatif per keluarga adalah kebutuhan minimal yang harus dipenuhi sebuah keluarga untuk dapat melangsungkan kehidupannya secara sederhana tetapi memadai sebagai warga masyarakat yang layak. Berdasarkan kriteria itu, seseorang dikatakan miskin apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal, yakni kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan secara sederhana tetapi memadai sebagai warga masyarakat yang layak.
Kriteria fakir miskin tersebut adalah orang yang tidak memiliki penghasilan sama sekali dan tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi 2.100 kalori serta kebutuhan lain. Jika seseorang masuk dalam katagori miskin apalagi tidak beroleh kesempatan pendidikan, pada saat yang sama untuk keluar dari masalah yang dihadapinya kian berat.

Masa Depan Bangsa Terancam
Semakin meningkatnya jumlah rakyat miskin sangat berpotensi pada terciptanya permasalahan sosial baru berupa tindak kejahatan, misalnya; pencurian, perampokan, pelacuran, dan bentuk kekerasan-kekerasan lainnya. Jika kondisi seperti ini terus berlangsung maka ketenteraman di masyarakat akan berkurang sehingga dapat mengganggu aktivitas mereka. Kemiskinan juga akan menyebabkan bangsa kehilangan kehormatan dan terancam masa depannya karena tidak ada generasi berkualitas yang dapat  di persiapkan akibat kemiskinan.  
Kemiskinan juga telah menyebabkan bangsa Indonesia tidak mandiri dan terus bergantung pada negara lain melalui utang yang mereka berikan. Lingkaran setan kemiskinan juga menyebabkan bangsa dan masyarakat tidak pernah keluar dari masalah-masalah yang dihadapinya.
Berbagai macam teori menyebutkan bahwa jalan yang bisa digunakan untuk memutus  mata rantai lingkaran setan kemiskinan adalah memberikan kesempatan kepada kaum miskin untuk memperoleh pendidikan. Namun celakanya, kebijakan pendidikan tidak pernah berkorelasi positif dengan kemiskinan, artinya dalam situasi miskin kesempatan seseorang untuk memperoleh pendidikan juga terbatas. Hal ini terjadi pada anak-anak miskin yang tetap tidak dapat mengenyam pendidikan.
Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM Yogyakarta dalam kajianya menunjukkan bahwa persoalan kemiskinan merupakan persoalan yang multidimensional, bukan hanya melulu berupa persoalan ekonomi, akan tetapi juga merupakan persoalan sosial, budaya, dan politik. Masyarakat yang secara kuantitatif tergolong miskin, tetapi karena mereka tinggal di dalam suatu budaya masyarakat tertentu, mereka tidak pernah merasa miskin. Sehingga yang harus menjadi pertimbangan dalam penanggulangan kemiskinan bukan hanya pengertian dasar kemiskinan sebagai persoalan ekonomi, akan tetapi juga persoalan sosial, budaya, dan politik.

Pengentasan kemiskinan
Beberapa program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan cenderung mengalami kegagalan karena pendekatan yang digunakan juga salah dan tidak menyentuh akar persoalan kemiskinan yang banyak dialami masyarakat.
Beberapa kesalahan tersebut diantaranya:
·        Pertama, kebijakan yang tidak menyentuh pada akar persoalan kemiskinan masyarakat. Kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok yang membuat masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhanya dan semakin terpuruk pada kemiskinan disikapi dengan memberikan konversi dan pembagian beras dan lain sebagainya.

·        Kedua; sebagai sebagai persoalan multikompleks, seharusnya pendekatan yang digunakan juga tidak melulu pada satu aspek akan tetapi banyak aspek secara terpadu, konsisten, dan berkesinambungan harus dilakukan. Pelibatan warga miskin untuk mampu menemukan akar persoalan kemiskinan yang dihadapi juga harus dilakukan, selama ini permasalahan pelik yang dihadapi oleh sebagian besar oleh kelompok anti kemiskinan adalah pada bagaimana meyakinkan kepada kaum miskin bahwa kemiskinan harus diberantas sehingga memerlukan partisipasi darinya. Karena tanpa keterlibatan kaum miskin, pendekatan apa pun yang digunakan, program itu akan cenderung gagal.

·        Ketiga; konsep pengentasan kemiskinan yang berbeda pada (pemerintah, LSM, perguruan tinggi) membuat konsep ini tidak membekas pada warga miskin. Konsep pemberdayaan masyarakat merupakan masalah sukar yang tidak begitu saja diterjemahkan kepada kaum miskin. Kaum miskin cenderung menyukai program-program yang bersifat karitatif dengan tidak membutuhkan keterampilan, pemikiran, serta tidak merepotkan seperti pembagian pakaian bekas, bahan kebutuhan pokok, dan uang. Pengentasan warga miskin cenderung terjebak pada persoalan ini karena komitmen lemah dan ketiadaan daya dukung yang memadai.

·        Keempat; pengentasan warga miskin dijalankan sebagai proyek dengan target-target tertentu dan waktu yang tersedia terbatas. Pemikiran mengenai proyek membuat orang mudah terjebak, bahkan pada masa silam yang disebut proyek menjadi kesempatan menjarah uang negara. Waktu yang terbatas menyebabkan pendekatan yang dipakai adalah pendekatan proyek, tergesa-gesa, tanpa konsep matang, dan dijalankan asal-asalan. Kecenderungan yang paling kentara adalah pembuatan pertanggungjawaban fiktif demi mencapai tujuan semu. Dalam situasi seperti  ini, diperparah lagi oleh budaya dan perilaku Korup yang merajalela sehingga memberangus dan menjauhkan tanggung jawab untuk mengentaskan warga dari kemiskinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar